Sabtu, 28 Februari 2009

Sastra Jawa Tidak Butuh Sensasi

HIDUP enggan, mati pun tak mau. Begitu ungkapan yang sering dialamatkan banyak orang terhadap kondisi sastra Jawa saat ini. Masih banyak lagi ungkapan-ungkapan lainnya yang lebih dramatis, namun intinya hanya ingin memberi gambaran bahwa sastra Jawa dalam kondisi sekarat.

Tidak berhenti pada ungkapan-ungkapan yang cenderung mendramatisir sastra Jawa, kemudian banyak orang sering melakukan sebuah upaya-upaya konyol dan naif yang menurutnya sebagai langkah untuk menghidupkan kembali sastra Jawa. Salah upaya itu antara lain terjadi beberapa bulan terakhir ini, yakni pembacaan gurit agar tercatat sebagai rekor nasional, kemudian ada pula pembacaan geguritan di depan hewan-hewan di kebun binatang Gembiraloka. Masih banyak langkah-langkah konyol yang dilakukan orang, yang katanya berangkat dari keprihatinannya terhadap nasib sastra Jawa saat ini. Hmmm, hebat benar yang mereka.

Menurut saya, upaya-upaya di atas tidak akan punya pengaruh besar terhadap perkembangan sastra Jawa sendiri. Bahkan kalau boleh saya katakan, itu tidak ada manfaatnya untuk sastra Jawa, namun untuk dirinya memang banyak manfaatnya. Minimal orang yang melakukan itu, bisa menjadi sensasi publik, dan bisa dimuat di koran-koran. Boleh dikatanya mereka sebagai penumpang gelap sastra Jawa, untuk bisa dikenal orang semata. Coba, tanpa mereka memakai embel-embel sastra Jawa, tidak bakal bisa diperhatikan orang atau bisa dimuat di koran dan masuk TV.

Sastra Jawa telah mati! Wow, dramatis sekali kalimat itu. Kalimat itu hanya pantas dilontarkan oleh orang yang tidak paham tentang sastra Jawa. Jika itu sebagai kesimpulan, itu hanya layak diungkapkan oleh orang yang tidak mengerti perkembangan sastra Jawa saat ini. Jika saja kita memahami bagaimana perkembangan sastra Jawa di daerah Surabaya, Semarang, Solo, Kutoarjo, Jakarta, Malang, Bojonegoro, Tulung Agung, Kediri, Purworejo, Bantul, dan kota-kota lainnya, maka kita akan mengerti apakah kalimat sastra Jawa itu telah mati, itu kalimat tepat atau tidak. Jika sastra Jawa hanya dilihat secara picik dan sempit, hanya yang lingkup Yogyakarta saja, wajar jika kemudian menyimpulkan seperti itu. Tapi maaf, jika kemudian saya mengatakan itu sebuah bentuk kepicikkan semata. Dan sensasi-sensai, yang dikatakan untuk memperjuangkan sastra Jawa itu, menurut saya sebuah ke-naif-an semata. Sastra Jawa tidak butuh sensasi, sebab saat ini sastra Jawa butuh langkah kongkrit. Langkah kongkrit untuk menggairahkan kembali sastra Jawa hanya dengan berkarya sebaik mungkin. Dengan karya itu, sastra Jawa akan berdenyut kembali.

Untuk saat ini, saya merasa optimis dengan berkembangan sastra Jawa. Di Yogya saja, saat ini telah tumbuh dimana-mana kegiatan macapat yang dilakukan orang-orang tua. Tidak hanya dikampung-kampung, tapi paguyuban macapat juga telah lama merambah di kota. Beberapa radio dan TV, kini juga telah membuka ruang bagi sastra Jawa. Di Bantul setiap tanggal 17, juga diwajibkan memakai bahasa Jawa dan pakaian Jawa. Majalah dan rubrik untuk sastra Jawa sekarang semakin banyak. Lihat di Kedaulatan Rakyat ada rubrik Mekar Sari, Solopos ada rubrik Jagad Jawa, Suara Merdeka ada rubrik Pagelaran. Majalah Jawa hingga sekarang juga masih eksis, antara lain Djaka Lodhang (Yogya), Damar Jati (Jakarta), Jayabaya, Panyebar Semangat (Surabaya). Jadi kenapa masih teriak-teriak tentang sastra Jawa kalau sekarang mati.

Jika karena sastra Jawa sekarang kurang diminati banyak orang, itu bukan alasan tepat untuk menyimpulkan sastra Jawa mati. Sebagai saat ini, tidak hanya sastra Jawa yang kurang diminati orang, hampir semua ranah seni saat ini kurang diminati banyak orang juga. Lihat saja yang terjadi dengan pantomim, teater, musik klasik, tari klasik, seni patung, wayang orang, ludruk, kethoprak, dan wayang kulit nasibnya juga sama nasibnya seperti sastra Jawa. Bahkan semisal wayang kancil atau sindhen, nasibnya lebih mengenaskan lagi dibanding sastra Jawa. Toh pelaku kesenian lain tidak seheboh pelaku sastra Jawa. Tapi pelaku kesenian lain tetap intens berkarya dengan baik, karena mereka telah menjadikan itu sebagai pilihan hidup.

Jadi menurut saya, umpama Guines Record pun mencatat tentang sastra Jawa sebagai rekor dunia dengan melakukan pembacaan geguritan terpendek, itu tidak akan memberi dampak bagi pertumbuhan sastra Jawa lebih baik. Atau misal ada orang membaca geguritan di pucuk gunung Merapi, kemudia seluruh jaringan TV menayangkan secara langsung pun, itu tidak akan membuat nasib sastra Jawa lebih baik. Nasib sastra Jawa akan baik, menurut saya, jika pelaku-pelakunya mampu melahirkan karya-karya dengan baik dan memiliki kualitas sastra yang baik. Sebab dalam kondisi saat ini, sastra Jawa tidak butuh sensasi-sensasi. (*)

*) Eko Nuryono, penulis adalah pecinta dan pemerhati sastra Jawa. Aktif dalam berbagi kegiatan sastra Jawa di berbagai daerah. Kini tinggal di Bantul.